Tes Prasekolah: antara Urgensi dan Regulasi

Oleh: Yadi Suryadi, M.Pd.I*

*Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Cirebon

 

Pendahuluan

Pada setiap tahun ajaran baru dimulai, kita sering disuguhi berbagai berita salah satunya tentang mekanisme pendaftaran masuk sekolah. Hampir seluruh orang tua yang memiliki anak turut memantau perkembangan informasi masuk sekolah, baik untuk jenjang TK, SD, SMP, SMA bahkan Perguruan Tinggi. Mereka antusias mempersiapkan momen masuk sekolah sebagai momen penting dalam hidupnya. Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi leading sector pengelolaan pendidikan di tanah air. Kemendikbud dengan dibantu oleh kementerian lain, seperti Kemenag dan Kemenristekdikti telah memiliki rekam jejak yang panjang dalam mengurus berbagai hal pada sektor pendidikan. Salah satu hal yang diurus yaitu mekanisme rekrutmen peserta didik (siswa/mahasiswa). Secara umum pola rekrutmen yang lazim digunakan pada setiap jenjang yaitu dengan model seleksi dan tes.  Akan tetapi, belakangan muncul rumor yang berkembang bahwa terjadi polemik yang berkepanjangan terkait tes masuk sekolah. Terutama untuk masuk sekolah dasar.

Seperti dikutip dari antaranews.com, Selasa (4/7/2017), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melarang sekolah menggelar tes baca bagi calon siswa yang akan masuk Sekolah Dasar (SD).  Sekolah diwajibkan menerima seluruh calon siswa tanpa seleksi apa pun. Untuk masuk SD, seorang calon siswa hanya perlu cukup umur dan rumahnya dekat dengan sekolah. Selain itu, untuk masuk SD tidak mensyaratkan ijazah TK. Usia untuk masuk SD yakni minimal tujuh tahun.

Penerimaan siswa baru, sudah diatur dalam Permendikbud 17/2017. Di dalamnya memuat larangan bagi sekolah dasar untuk melakukan tes penerimaan siswa baru. Padahal, dalam kenyataan banyak sekolah melakukan tes dalam kegiatan penerimaan siswa baru. Maka, terjadilah ketidaksesuaian antara regulasi dan realisasi. Bahkan Kemendikbud meminta agar dinas pendidikan juga memberikan teguran kepada sekolah yang menerapkan seleksi untuk masuk SD. Satu sisi sebagian masyarakat mendambakan masuk ke sekolah berkualitas. Sisi lain banyak masyarakat yang kecewa karena tidak bisa masuk ke sekolah yang didambakannya karena gagal dalam proses seleksi. Lalu, bagaimana perspektif keilmuan pendidikan menyikapinya?

 

Perubahan Sistem

Setelah merdeka, bangsa kita telah tujuh kali berganti presiden, belasan bahkan puluhan kali pergantian menteri dan pejabat setingkat direktorat jenderal, khususnya yang menangani pendidikan dasar. Dulu, masuk ke Sekolah Dasar (SD) tidak perlu melalui tes. Asalkan cukup umur, 6-7 tahun, anak bisa masuk SD, baik di sekolah negeri ataupun swasta. Sekarang, umur saja tidak cukup. Mau masuk SD, anak harus dites dulu. Sudah bisa membaca ataukah belum? Kenal huruf ataukah tidak? Sudah pandai menghitung sampai berapa? Padahal, semua anak berhak mendapat pendidikan. Kalaupun anak itu kurang pintar, apa malah dia tak boleh sekolah?

Kenyataannya sekolah yang menerapkan tes masuk merupakan sekolah-sekolah yang dipandang “terbaik”, “favorit” dan “berkualitas”. Mana mungkin masyarakat berbondong-bondong mendaftarkan putra-putrinya jika mereka beranggapan bahwa sekolah tersebut berkualitas buruk atau biasa-biasa saja. Daya tampung yang terbatas tidak sebanding dengan animo masyarakat menjadi dasar kebijakan beberapa sekolah untuk menerapkan mekanisme tes. Misalnya untuk kelas satu suatu sekolah memiliki 4 ruang belajar dengan masing-masing kapasitas 30 siswa, maka pada tahun pelajaran baru, sekolah tersebut mampu menampung sebanyak 120 siswa. Namun, apa jadinya apabila yang mendaftar mencapai jumlah lebih dari 120 siswa? Tentu ini menjadi hal yang perlu diatasi. Apabila dicukupkan pendaftar sesuai kuota/daya tampung yang dimiliki, apa mungkin masyarakat bisa menerima dan percaya begitu saja?

Kita tahu, perkembangan informasi dan teknologi sekarang semakin maju. Bisa saja sekolah-sekolah favorit tersebut menyampaikan bahwa kuota sudah penuh terisi dengan sederet nama dan asal sekolah terperinci. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa data-data tersebut adalah valid dan benar. Bagaimana perasaan kita apabila hendak mendaftarkan anak ke suatu sekolah lalu ditolak dengan alasan sudah penuh dalam arti sudah didahului oleh orang lain. Tidak cukup kecewa tentu, tapi ada rasa penasaran. Mengapa tidak diberi kesempatan untuk berjuang terlebih dahulu melalui sebuah mekanisme yang lebih kompetitif.

Perubahan sistem terjadi seperti tarian poco-poco, maju-mundur-maju lalu mundur lagi. Dulu tidak ada tes, kemudian ada (boleh) tes, lalu tidak ada (dilarang) ada tes. Wajar memang bila ditinjau dari perspektif politik, ganti pemerintahan ganti kebijakan. Sekarang kita sedang berada di wilayah akademik yang masih sangat relevan untuk turut mengamati, merasakan dan memberi tanggapan atas berbagai kebijakan pendidikan, apakah memiliki dasar keilmuan ataukah tidak?

Sebenarnya lain sekolah bisa lain kebijakan. Tetapi kebanyakan sekolah berstandar internasional atau nasional plus kini sudah memberlakukan tes baca-tulis-hitung (calistung) pada anak-anak dalam penerimaan siswa baru. Memang, ada sekolah yang sekedar ingin tahu kemampuan anak. Juga, karena kapasitas kelasnya besar, anak kemungkinan besar diterima, kecuali ada keterbelakangan mental maka itu lain soal lagi. Sehingga masyarakat dan pemerintah tidak negative thinking terhadap sekolah-sekolah yang menerapkan tes.

 

Regulasi

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) memiliki pedoman baru. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, Atau Bentuk Lain Yang Sederajat.

Permendikbud ini bertujuan untuk memberikan acuan dan pedoman bagi satuan pendidikan dalam menyelenggarakan proses penerimaan siswa baru agar dilakukan secara objektif, akuntable, transparan, dan tanpa deskriminasi guna meningkatkan akses layanan pendidikan. Adapun petikan pasal yang tercantum kaitannya dengan tulisan ini yaitu tentang mekanisme penerimaan siswa sekolah dasar.

Pasal 5 (1) Persyaratan calon peserta didik baru kelas 1 (satu) SD atau bentuk lain yang sederajat:

  1. calon peserta didik baru yang berusia 7 (tujuh) tahun wajib diterima sebagai peserta didik; dan
  1. calon peserta didik baru berusia paling rendah 6 (enam) tahun pada tanggal 1 Juli tahun berjalan.

(2) Pengecualian syarat usia paling rendah 6 (enam) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperuntukkan bagi calon peserta didik yang memiliki kecerdasan istimewa/bakat istimewa atau kesiapan belajar dibuktikan dengan rekomendasi tertulis dari psikolog profesional. (3) Dalam hal psikolog profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tersedia, rekomendasi dapat dilakukan oleh dewan guru Sekolah. (4) Ketentuan pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan batas daya tampungnya berdasarkan ketentuan rombongan belajar dalam Peraturan Menteri.

Dalam peraturan tersebut, penulis berpandangan bahwa pelarangan sistem tes masuk tidak secara eksplisit tercantum. Bisa jadi pelarangan itu sebagai salah satu tafsir kebijakan yang mengkhawatirkan gulung tikarnya lembaga-lembaga pendidikan milik pemerintah. Jika itu terjadi, berarti dunia pendidikan mengalami degradasi. Saat ini, betapa banyak sekolah-sekolah negeri milik pemerintah khususnya jenjang sekolah dasar kelimpungan mencari siswa. Beberapa sekolah dalam satu kawasan seperti desa banyak yang di merger sebagai akibat kurangnya jumlah siswa. Meskipun, ada beberapa sekolah negeri yang mengalami over capacity (kelebihan jumlah pendaftar).

Ketika muncul larangan tes masuk bagi calon siswa sekolah dasar, lalu apa sanksi yang akan diberikan kepada sekolah yang melaksanakan tes tersebut? Ditengah-tengah upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, seharusnya Indonesia tidak terjebak pada isu kedaerahan, kewilayahan atau teritorial. Kita hidup di bumi nusantara yang setiap warganya berhak untuk sekolah dimana saja. Tidak dihalang-halangi karena usia dan tempat tinggal sebagaimana yang saat ini diberlakukan.

 

Pokok Persoalan

Ada beberapa pokok persoalan yang penulis catat sebagai bahan kajian bersama tentang sistem penerimaan siswa baru. Persoalan itu antara lain tentang kebutuhan informasi penerimaan siswa, sistem usia dan zonasi, pendaftaran online, tidak boleh ada tes calistung untuk masuk SD,  jual beli umur, kuota untuk orang miskin. Dari sekian persoalan, yang akan di bahas dalam tulisan ini adalah tentang tes calistung bagi calon siswa SD.

Pemerintah telah menggariskan sebuah kebijakan, yakni adanya pemerataan pendidikan bagi segenap warganya. Pemerataan yang dimaksud seharusnya jangan sampai memangkas laju pertumbuhan pendidikan yang bergerak lebih maju. Pemerataan mestinya memacu pertumbuhan yang lebih cepat bagi sebagian sektor yang mengalami perlambatan progres. Jika pemerintah bertindak menekan laju sebagian sektor dengan maksud agar sektor yang melambat bisa sejajar dengan sektor yang sudah maju, maka ini suatu kegagalan manajemen pendidikan nasional. Anak-anak dan sekolah-sekolah yang berkebutuhan khusus (baik superior maupun imperior) harus dilayani, sebagaimana pemerintah melayani anak-anak dan sekolah-sekolah terkategori normal/umum.

Dikotomi, sepintas memang terlihat betul apabila pemerintah membiarkan otonomi rekrutmen peserta didik kepada tiap-tiap unit pendidikan. Namun, ketika pemerintah meyeragamkan pola tertentu yang justru membatasi ruang dan kesempatan akan berdampak pada pengkerdilan kreatifitas dan inovasi pendidikan. Sekolah-sekolah berkualitas akan lenyap tergantikan oleh sekolah-sekolah standar. Sementara sekolah-sekolah tertinggal tidak ada jaminan akan menjadi sekolah standar. Lihatlah pola demografi dan kemudahan akses transportasi jaman sekarang. Sangat berbeda dengan kondisi dimasa lalu. Tidak relevan ketika warga disuatu daerah/wilayah harus sekolah diwilayah itu lagi. Siswa dari wilayah lain tidak punya peluang besar untuk sekolah diluar wilayah mukimnya. Tafsir keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu tidak demikian.

Warga negara kita itu bhineka, beragam. Begitu pun dengan siswa. Ada yang disebut dengan anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus yaitu anak-anak yang mengalami kelainan fungsi dari organ-organ tubuhnya, baik yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah. Kelainan berarti pula penyimpangan fungsi baik yang mengarah keatas (super normal) maupun yang mengarah ke bawah (subnormal). Kelainan bukan abnormalitas tetapi merupakan pengecualian (exceptional). Termasuk anak luar biasa dikategorikan anak berkelainan. Ada beberapa landasan yang menjadi dasar pelayanan pendidikan. Landasan tersebut adalah landasan religius, landasan ideologis, landasan yuridis, landasan pedagogis dan landasan historis. Semuanya memaklumi adanya disparitas pola pengajaran dan pendidikan (Sapariadi: 12).

 

Calistung

Calistung merupakan akronim dari baca, tulis dan hitung. Calistung adalah konsep pengajaran di sekolah dasar kelas bawah. Konsep ini ramai dibahas ketika beberapa sekolah mensyaratkan sudah dikuasai bagi calon peserta didik sementara pemerintah memberlakukan pelarangan untuk dipersyaratkan sebagaimana dikutip dari antaranews.com, Selasa (4/7/2017).  Membaca adalah kegiatan yang sangat purba: sejak Adam diajari oleh Tuhan mengeja sejumlah nama-nama. Muhammad sebelum diangkat menjadi nabi diperintahkan untuk membaca terlebih dahulu. Lalu mengapa sekarang kita menjadi tabu untuk menjadikan kemampuan membaca sebagai barometer kesiapan anak menerima ilmu pengetahuan? Di saat bangsa-bangsa lain sedang berpacu menjadi yang termaju. Terlebih jika dikaitkan dengan gerakan literasi yang gencar dikampanyekan, mulai umur berapa gerakan ini dimulai jika budaya membaca sudah dikebiri.

Keterampilan membaca, menulis dan berhitung merupakan keterampilan-keterampilan dasar bagi anak-anak dan merupakan jembatan penghubung kearah kehidupan yang lebih luas dan rumit (Tarigan: 22). Agaknya tidak berlebihan apabila ada sekolah yang melakukan pemetaan kemampuan calistung dalam proses penjaringan siswa, karena di jenjang kelas 1 siswa sudah disajikan buku pelajaran yang berisi sederet kata dan angka. Jika demikian adanya, maka kemampuan calistung tidak boleh dikesampingkan. Namun jika kebijakan pemerintah mengharuskan setiap pendaftar diterima tanpa ada tes calistung maka konsekuensi logisnya harus disusun format kurikulum yang sesuai. Para pakar penyusun kurikulum harus berani bertindak menjadikan keterampilan-keterampilan membaca, menulis dan berhitung sebagai mata pelajaran yang mandiri dengan status sendiri (Tarigan: 24).

Pola pendidikan di taman kanak-kanan (TK) tidak mewajibkan keterampilan membaca, menulis dan berhitung itulah salah satu alasan bagi masyarakat dan pemerintah yang mendukung aturan pelarangan tes calistung bagi calon siswa SD. Mereka beranggapan bahwa bagaimana mau dites, sementara sebelumnya tidak pernah dipelajari. Padahal usia TK, anak-anak memasuki pada fase awal pertumbuhan dan kematangan pada fungsi kebahasaan, terutama bahasa lisan. Bahasa lisan biasanya memiliki relevansi terhadap bahasa tulis, meski sistematisnya masih kurang (Eka Rohayati: 147). Ada yang beranggapan bahwa kematangan merupakan suatu perkembangan yang genetik yang bersifat primer: kematangan itu akan terjadi dengan sendirinya (nature), tidak cepat-cepat dan hanya sedikit terpengaruh oleh latihan khusus. Ada juga yang beranggapan bahwa kematangan itu bersifat pemeliharaan (nurtur): pengalaman-pengalaman yang kebetulan maupun terencana itu menentukan karakteristik dan prestasi individu dan kelanjutannya. Sikap yang lebih dapat diterima pada perdebatan tentang natur dan nurtur ini menyatakan bahwa fungsi dan struktur fisik sebagian besar pembawaan genetik tetapi dapat dimodifikasi oleh lingkungan: pola-pola tingkah laku mungkin pembawaan yang asli tetapi tingkat perubahannya tinggi; pengetahuan dan keterampilan itu dihasilkan dari lingkungan, tetapi proses belajar mereka dapat dibatasi oleh struktur genetik (Meidalena: 147). Dari paparan tersebut tergambar bahwa keterampilan calistung merupakan kematangan yang bersifat nurtur: harus diupayakan, dan diberi ruang.

Taman Kanak-kanak merupakan tangan pertama (setelah keluarga) dalam mengembangkan pengetahuan dengan efektif. Kita hampir tidak dapat memperkirakan bagaimana kehidupan modern membatasi perkembangan intelektual nak-anak dengan membatasi pengalaman dari tangan pertama. Padahal, di TK lah momentum adaptasi memberikan kesan nyaman atau tidaknya dunia pendidikan. Meski masuk TK tidak wajib, tapi jaman sekarang berbeda dengan jaman dulu. Hampir disetiap wilayah sudah banyak berdiri taman-taman pendidikan serupa, baik TK, RA, PAUD maupun MD. Seorang ahli menganjurkan kepada orangtua agar anak dalam kelas pertama membaca (Meidalena: 151). Pada kurikulum SD, ketuntasan membaca ditarget tuntas pada semester satu. Apakah itu logis dan terjamin berhasil? Bagaimana apabila tidak tuntas? Tentu akan menghambat target kurikulum pada semester berikutnya, yang berimplikasi pada skema tinggal kelas seperti konsep jaman dahulu. Penguatan pengalaman anak akan merangsang kemampuan verbal sehingga kemampuan baca dan tulis juga akan menyertainya.

Di lain pihak, ada yang beranggapan bahwa TK bukanlah sekolah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wiryasumarta dalam buku Perilaku Anak Usia Dini bahwa TK hanyalah sebuah taman yang tidak ada pelajaran membaca, menulis dan matematika (berhitung). TK merupakan tempat bermain. Bermain menjadi sarana transmisi kemampuan berbahasa, daya cipta, daya pikir (kecerdasan), emosional dan sosial. Frobel menjelaskan bahwa bermain merupakan sarana belajar. Senada dengan itu, J. Piaget mengungkapkan bahwa bermain sebagai kegiatan yang dilakukan berulang-ulang demi kesenangan. Maka dari itu, hendaknya kesempayan bermain bagi mereka tidak dirampas dengan memaksa anak mengikuti berbagai les tambahan diluar jam pendidikan seperti les membaca, menulis, berhitung, komputer, bahasa Inggris, piano dan lain-lain  (Wiryasumarta : 48-49).

Seorang psikolog bernama Elga Andriana dalam buku Perilaku Anak Usia Dini mengungkapkan bahwa program untuk anak usia dini yang terlalu menitikberatkan pada keberhasilan akademik (membaca, menulis dan berhitung) dengan metode instruksi dari guru hanya akan berhasil untuk jangka pendek. Menurutnya, salah satu faktor yang sangat penting bagi anak agar siap membaca adalah kemampuan lisan yang baik. Anak-anak dengan bekal kosa kata yang kaya dan bisa berekspresi dengan bebas cenderung bisa membaca dengan baik. Oracy before literacy, itulah istilah yang menggambarkan pola pembinaan di tingkat pendidikan anak usia dini. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa tes masuk SD dengan pola calistung tidak relevan untuk dilakukan.

 

Konsep Tes

Kita mengenal beberapa istilah seperti tes, pengukuran dan penilaian. Sepintas nampaknya istilah-istilah tersebut sama. Namun, ternyata ketiganya memiliki perbedaan. Tes merupakan alat ukur (Noehi Nasoetion : 14). Sedangkan pengukuran merupakan penggunaan alat ukur dan penilaian merupakan tindak lanjut dari keduanya. Sejarah perkembangan tes bermula ketika dua orang psikolog terkenal asal Inggris Galton dan Pearson mempelajari perbedaan individual dan mereka menciptakan alat untuk membuktikan perbedaan ini. Di Amerika Serikat juga ada, sebutlah Cattle dan Thorndike. Di Perancis, Binet, juga mengembangkan alat ukur yang merupakan awal dari perangkat tes yang bernama Stanford-Binet yang dihasilkan oleh Jerman pada tahun 1916 (Noehi Nasoetion : 17).

Sejak kemunculannya perangkat ini mengalami berbagai fase dari mulai fase rintisan (pioneer), fase semarak (booming) hingga fase kritikan dan fase penilaian (pengembangan dan perbaikan). Tes ini banyak digunakan untuk berbagai keperluan seperti seleksi memasuki angkatan bersenjata, perguruan tinggi hingga pengelompokan. Pemanfaatan perangkat tes di Indonesia memang belum sepesat di negara maju. Sampai dengan 1975 model tes hasil belajar misalnya hanya dikenal sebatas uraian (esai). Tes prediksi dan tes intelegensi belum begitu populer. Tes membaca menulis dan berhitung juga kini sedang dipersoalkan oleh sebagian kalangan. Tes memberikan gambaran kepada kita, betapapun memang setiap individu diciptakan berbeda maka kita akan lebih mudah mengenal perbedaan-perbedaan tersebut untuk dapat memberikan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan/ porsinya masing-masing. Tidak meraba-raba atau memukul rata bahwa setiap individu/ siswa itu sama.

Kali ini istilah tes sudah diperhalus dengan istilah pengamatan/ observasi. Sebagaimana yang dipakai oleh Global Psychology Center Cirebon dan beberapa lembaga psikologi lain di tanah air. Ada beberapa aspek yang menjadi perhatian dalam observasi para calon siswa, terutama calon siswa sekolah dasar. Aspek psikologis meliputi kematangan intelektual, gerakan motorik halus, pengertian dasar ukuran, daya ingat, konsentrasi, ketelitian dan pengertian situasi sosial. Adapun penjabarannya sebagai berikut :

  1. Kematangan intelektual: Kemampuan yang diperlukan dalam mempelajari suatu hal baru didalam memahami pengertian sederhana yang mencakup teori serta analisa terhadap masalah yang terjadi.
  2. Gerakan motorik halus: Kemampuan melakukan koordinasi antara visual (penglihatan) dan motorik (gerakan). Digunakan untuk dapat menulis dengan baik, meniru gambar serta membuat berbagai tulisan.
  3. Pengertian dasar ukuran: Kemampuan mengenal berbagai konsep dasar ukuran, seperti besar kecil, tinggi rendah, banyak sedikit serta arah kanan kiri tengah depan belakang.
  4. Daya ingat: Kemampuan memahami dan mengingat berbagai informasi yang terdapat di lingkungannya, mengorganisir sesuai dengan klasifikasinya dan menyatakannya kembali ketika diperlukan.
  5. Konsentras: Kemampuan memusatkan perhatian pada suatu hal yang dipelajari dalam jangka waktu tertentu dan tidak mudah terpengaruh oleh kondisi/situasi yang berlangsung pada saat itu.
  6. Ketelitian: Kemampuan untuk bersikap hati-hati dalam menjaga kualitas kerja sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan yang tidak diinginkan.
  7. Pengertian situasi sosial: Pemahaman mengenai berbagai macam situasi sosial sederhana yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

 

Penutup

Pendidikan merupakan hak warga negara, baik formal maupun nonformal, di pelosok desa maupun di pusat kota. Disparitas pendidikan tidak bisa dihindari. Melalui kebijakan, pemerintah harus lebih bijak dalam mengakomodir dan memberikan otonomi secara jelas terhadap aspirasi-aspirasi yang berkembang dimasyarakat. Dalam hal ini adalah kebijakan larangan penyelenggaraan tes calistung bagi calon siswa sekolah dasar. Keterbatasan akses pendidikan terutama pada sektor sekolah dasar seperti jumlah siswa yang kurang/ minim tentu tidak boleh diterapkan skema tes calistung atau skema-skema seleksi lainnya. Semua pendaftar wajib diterima sesuai pedoman yang berlaku. Namun, manakala terjadi lonjakan peminat, tentu harus ada pengecualian. Apalagi untuk sektor pendidikan non pemerintah (swasta).

Pemberlakuan regulasi hendaknya dilakukan dengan moderat dan solutif sehingga tidak menimbulkan kegamangan dan pembiaran bagi para pelanggarnya. Berikan informasi selengkap dan seluas-luasnya kepada masyarakat. Senantiasa mendasarkan basis keilmuan dalam setiap aturan dan bukan basis politis yang dikedepankan. Semoga pemerintah dapat melakukan kajian ulang (review) atas regulasi yang telah diterbitkan, khususnya tentang mekanisme penerimaan peserta didik baru tingkat sekolah dasar.

 

Daftar Pustaka

H.G. Tarigan dkk. (2003). Membaca dalam Kehidupan. Bandung. Angkasa

Noehi Nasoetion dkk. (2002). Tes, Pengukuran dan Penilaian. Jakarta. Universitas Terbuka

Sapariadi dkk. (1982). Mengapa Anak Berkelainan Perlu Mendapat Pendidikan. Jakarta. Balai Pustaka

  1. Wiryasumarta dkk. (2003). Perilaku Anak Usia Dini. Yogyakarta. Kanisius

http://nasional.kompas.com/read/2017/07/04/17184071/sekolah.dilarang.buat.tes.baca.untuk.masuk.sd

http://edukasi.kompas.com/read/2010/02/16/09332584/Jangan.Panik.dengan.Tes.Masuk.SD

http://www.sekolahdasar.net/2012/06/peraturan-pemerintah-yang-melarang-tes.html

Permendikbud No 17/2017