Islamic Perspective of Character Education:

An Internalization Solution of Moral Ethics to be Insan Kamil

Siti Nur Amanah

STAI Cirebon, Jawa Barat, Indonesia

amanahsinur@gmail.com

Abstrak

Pendidikan karakter bertujuan membentuk insan kamil. Kurikulum yang membangun karakter insan kamil dalam perspektif Islam memiliki ciri-ciri  khusus sebagai berikut: (1) Pembinaan anak didik untuk bertauhid; (2) Kurikulum harus disesuaikan dengan fitrah  manusia, sebagai mahluk yang memiliki keyakinan kepada Tuhan; (3) Kurikulum yang disajikan merupakan hasil pengujian materi dengan landasan Al-Quran dan As-Sunnah; (4) Mengarahkan minat dan bakat serta meningkatkan kemampuan akliah anak didik serta ketrampilan yang akan diterapkan dalam kehidupan konkret; (5) Pembinaan akhlak anak didik, sehingga pergaulannya tidak keluar dari tuntunan islam; (6) Tidak ada kedarluwasa kurikulum karena ciri khas kurikulum Islam senantiasa relevan dengan perkembangan zaman, bahkan menjadi filter kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penyerapannya dikehidupan masyarakat; dan (7) Pendidikan karakter mengisyaratkan tiga macam dimensi dalam upaya mengembangkan kehidupan manusia yaitu: (a) Dimensi kehidupan duniawi; (b) Dimensi kehidupan ukhrawi; dan (c) Dimensi hubuangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Dengan demikian, pendidikan karakter yang bertujuan membentuk insan kamil tolak ukur utamanya adalah nilai yang bersumber dari agama, kemudian diambil dari budaya lokal, dan dipadukan sebagai kurikulum berbasis karakter, artinya nilai-nilai yang terwujud pada akhlak manusia disepakati sebagi karakter.

Kata kunci: Pendidikan Karakter, Perspektif  Islam, Insan kamil

Abstract

Character education aims to embody the perfect beings (Insan Kamil). The curriculum that builds the character of the perfect beings in the perspective of Islam has special characteristics as follows: (1) Students are trained to do Tawheed; (2) The curriculum must be adapted to human nature, as beings who have faith in God; (3) Curriculum presented is the result of material testing based on Al-Quran and As-Sunnah; (4) It guides students’ interests and talents as well as improving their skills that will be applied in concrete life; (5) Students moral guidance, so that their relationships are not out of Islamic guidance; (6) There is no curriculum expiration because the characteristics of the Islamic curriculum are always relevant to the current development, and even become a filter for the advancement of science and technology in its absorption of human life; and (7) Character education implies three dimensions in an effort to develop human life, namely: a) wordly dimension; (b) ukhrawi dimension; and (c) the dimension of the relationship between the worldly and the ukhrawi. Thus, character education that aims to shape insan kamil is the main measure of value derived from religion, then taken from local culture, and combined as a character-based curriculum, it means that the values ​​manifested in human morality are agreed as characters.

Keywords: Islamic Perspective, Character Education, Insan Kamil

 

Pendahuluan

Kita hidup di era globalisasi yang memungkinkan adanya saling keterbukaan dan ketergantungan antara negara. Globalisasi itu sendiri menurut Asep Jihad, M. Muchlas Rawi dan Noer Komarudin (2010:2) diartikan sebagai proses saling berhubungan yang mendunia antara individu, bangsa dan negara, serta berbagai organisasi kemasyarakatan, terutama perusahaan.[1] Proses ini dibantu berbagai alat komunikasi dan transportasi yang berteknologi canggih, dibarengi kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi serta nilai-nilai sosial-budaya yang saling mempengaruhi.

Di sisi lain, krisis moralitas masih menjadi persoalan serius bangsa ini. Berbagai berita baik yang dirilis media cetak maupun elektronik mewartakan semakin merosotnya moralitas anak bangsa. Itu bisa kita lihat dengan maraknya tawuran antar pelajar, kebiasaan mengkonsumi minuman keras, penyalahgunaan obat-obat terlarang (narkoba) dan pergaulan tanpa batas atau seks bebas bagi sebagian oknum anak bangsa sudah menjadi hal yang biasa, serta korupsi yang kian merajalela.

Merosotnya moralitas anak bangsa di negeri ini menurut Agus Wibowo dan Gunawan (2015:3-4) mengindikasikan adanya kekeliruan dalam pendidikan kita. Pendidikan itu mestinya menjadi ruang bagi proses humanisasi anak didik. Pendidikan tidak hanya menumbuh kembangkan aneka potensi, tetapi juga menjadi tempat strategis pengajaran dan internalisasi etika moral, bahkan karakter utama anak didik agar mereka menjadi pribadi utama bukan hanya unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga linuwih atau lebih dalam ketinggian budi dan karakter. Itulah ancangan mulia dari bapak bangsa dan stakeholders pendidikan bangsa kita, tidak hanya masa lalu, tetapi juga masa ini dan yang akan datang.[2]

Tujuan pendidikan tersebut juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 3 yang berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.[3]

Untuk mencapai tujuan ini menurut Asep Jihad, M. Muchlas Rawi dan Noer Komarudin (2010:4) diperlukan aktualisasi pendidikan manusia yang baru dengan prinsip-prinsip: (1) partisipasi masyarakat di dalam mengelola pendidikan (community based education); (2) demokratisasi proses pendidikan; (3) sumber daya pendidikan yang professional; (4) sumber daya penunjang yang memadai; dan (5) membangun pendidikan yang berorientasi pada kualitas individu berbasis karakter.[4]

Lebih lanjut menurut Asep Jihad, M. Muchlas Rawi dan Noer Komarudin (2010:9) berhasilnya pendidikan membangun akhlak adalah amat penting bagi kita. Penting karena ia merupakan inti pendidikan kita. Penting untuk meneruskan perjalanan bangsa yang besar ini. Bangsa yang besar terutama ditandai oleh ketinggian akhlaknya. Berhasilnya pendidikan akhlak penting pula dalam rangka menyiapkan generasi penerus untuk mampu hidup dalam zaman global.[5]

 

Pengertian Pendidikan Karakter

Dalam persfektif Islam, pendidikan dikatakan dengan istilah pendidikan Islam. Pengertian pendidikan Islam menurut Hamdani Hamid dan Beni Ahmad Saebani (2013:3-4) seperti yang dikemukakan oleh para pakar adalah sebagai berikut:

  1. Pendidikan menurut Safruddin Nurdin adalah proses bimbingan jasmani dan rohani untuk membentuk kepribadian utama menurut ukuran yang telah ditentukan. Kepribadian utama disini adalah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih, memutuskan, mengamalkan, dan mempertanggungjawabkan perbuatan berdasarkan ajaran Islam.
  2. Menurut Hasan Langgulung, pendidikan Islam adalah pendidikan berfungsi menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang. Peranan ini berkaitan erat dengan kelanjutan hidup masyarakat; memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan peranan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda; memindahkan nilai-nilai yang bertujuan memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi syarat mutlak bagi kelanjutan hidup suatu masyarakat dan peradaban. Dengan kata lain, tanpa nilai-nilai keutuhan dan kesatuan suatu masyarakat, kelanjutan hidup tersebut tidak akan dapat terpelihara dengan baik yang akhirnya akan berkesudahan dengan kehancuran masyarakat tersebut.
  3. Pendidikan Islam merupakan proses yang harus dilaksanakan secara berkesinambungan, semenjak dalam kandungan ibu, usia dini, remaja, dewasa hingga usia lanjut.
  4. Pendidikan Islam adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik dalam mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak didik menjadi manusia dewasa sesuai dengan tujuan pendidikan Islam.
  5. Pendidikan merupakan usaha pengembangan kualitas diri manusia dalam segala aspeknya. Aktifitas yang disengaja untuk mencapai tujuan tertentu melibatkan berbagai faktor yang antar satu dengan yang lainnya berkaitan, sehingga membentuk satu sistem yang saling mempengaruhi.
  6. Dalam bahasa arab, istilah pendidikan dikenal dalam konsep pendidikan Islam, istilah pendidikan atau at-tarbiyyah tidak digunakan dalam leksiologi Al-Quran, tetapi ada beberapa kata yang sebangun dengan kata itu, yaitu ar-rabb, rabbaya᷇ni᷇, nurabbi᷇, ribbiyyu᷇n, dan rabba᷇ni᷇. Apabila at-tarbiyah diidentikan dengan kata ar-rabb, para ahli mendefinisikan bahwa ar-rabb merupakan fonem yang sekar dengan at-tarbiyahyang berarti at-tanmiyah, yaitu pertumbuhan dan perkembangan.[6]

Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi mengartikan ar-rabb dengan makna pemilik, yang maha memperbaiki, yang maha pengatur, yang maha menambah, yang maha menunaikan.

Al-Jauhari mengartikan at-tarbiyah, rabban dan rabba dengan memberi makan, memelihara dan mengasuh.

Menurut Musthofa Rahman dalam Hamdani Hamid dan Beni Ahmad Saebani (2013:3-4) apabila istilah at-tarbiyah diidentikan dengan bentuk ma᷇dhi-nya rabbaya᷇ni (Al-Isra᷇ : 24), dan bentuk mudha᷇ri-nya nurabbi᷇ (Asy-Syu’ara:18), at-tarbiyah mempunyai arti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembnagkan, memelihara, membuat, membesarkan dan menjinakkan. Konteks makna at-tarbiyah dalam surat Al-Isra lebih luas, mencakup aspek jasmani dan rohani, sedangkan dalam surat Ay-Syu’ara ayat 18 hanya menyangkut aspek jasmani.[7]

Dalam surat Ali Imran ayat 79 dan 146 disebutkan istilah rabba᷇niyyin  dan ribbiyyi᷇n, sedangkan dalam hadis Nabi SAW, digunakan istilah rabba᷇niyyin  dan rabba᷇ni᷇ sebagimana yang tercantum dalam hadis yang artinnya: “Jadilah kamu para pendidik (aliman) yang penyantun, ahli fiqih, dan berilmu pengetahuan. Seseorang disebut rabba᷇ni᷇ jika ia telah mendidik manusia dengan ilmu pengetahuan, dari sekecil-kecilnya sampai menuju yang lebih tinggi” (HR. Bukhari dan Ibn Abbas).[8]

Istilah ta’lim berasal dari kata ‘allama yang berarti proses transmisi ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Muhammad Naquib Al-Attas dalam Hamdani Hamid dan Beni Ahmad Saebani (2013:8) mengartikan kata ta’lim sebagai proses pengajaran tanpa pengenalan secara mendasar.[9] Menurutnya, jika disamakan dengan istilah at- tarbiyyah, istilah ta’lim mempunyai makna pengenalan tempat segala sesuatu, sehingga maknanya menjadi lebih universal dari pada istilah at- tarbiyyah, sebab at-tarbiyah tidak meliputi segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksternal.

Adapun istilah ta’dib menurut Hamdani Hamid dan Beni Ahmad Saebani (2013:8) megandung pengertian sebagai proses pengenalan dan pengakuan secara berangsur-angsur yang ditanamkan dalam diri manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan, kemudian membimbing dan mengarahkannya pada pengakuan dan pengenalan kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaan-Nya.[10]

Kemudian pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, tempramen, watak.”Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak. Menurut Tadkiroatun Musfiroh dalam Hamid dan Saebani (2013:30), karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan ketrampilan (skills).[11]

Karakter menurut Imam Syahid Arifudin (2015) adalah cara berpikir dan berprilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan tiap akibat dari keputusan yang dia buat. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional.[12]

Ada 18 nilai karakter versi Kemendiknas menurut Hamdani Hamid dan Beni Ahmad Saebani (2013:31-32) sebagaimana tertuang dalam buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang disusun Kemendiknas melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010) diataranya adalah : 1) Religius, 2) Jujur, 3) Toleransi,4) Disiplin, 5) Kerja keras, 6) Kreatif, 7) Mandiri,8) Demokratis, 9) Rasa ingin tahu, 10) Semangat kebangsaan atau nasionalisme, 11) Cinta tanah air, 12) Menghargai prestasi, 13) Komunikatif, senang bersahabat atau proaktif, 14) Cinta damai, 15) Gemar membaca, 16) Peduli lingkungan, 17) Peduli sosial, 18) Tanggung jawab, Suyadi dalam Uri Wahyuni (2015).[13]Internalisasi nilai karakter pada masa anak-anak (golden age), menjadi sangat signifikan dan terekam lebih dalam. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan, dirinya, sesama, lingkungan bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).[14]

Pendidikan karakter menurut Mahyuddin dalam Hamdani Hamid dan Beni Ahmad Saebani (2013:32-33) sama dengan pendidikan moral, yaitu seraingkaian prinsip dasar moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa pemula hingga ia menjadi seorang mukallaf, yaitu orang dewasa yang sudah menanggung beban hukum. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, yang dapat dinilai baik atau buruk, dengan menggunakan ukuran ilmu pengetahuan dan norma agama.[15]

Adapun para pakar pendidikan mendefinisikan pendidikan karakter sebagai berikut:

  1. Pendidikan kararakter adalah pendidikan akhlak yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona dalam Hamdani Hamid dan Beni Ahmad Saebani (2013:8) tanpa ketiga aspek ini, pendidikan karakter tidak akan efektif.[16]
  2. Pendidikan karakter adalah sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran, atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
  3. Pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik, mencakup keteladanan perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, dan cara guru bertoleransi. Guru membantu membentuk watak perserta didik
  4. Menurut T. Ramli dalam Hamdani Hamid dan Beni Ahmad Saebani (2013:8) pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak yang bertujuan membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.[17] Oleh karana itu, pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan yang berusaha membina kepribadian generasi muda.
  5. Pendidikan karakter merupakan sistem penanaman nilai-nilai katakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nila-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
  6. Pendidikan karakter adalah pendidikan moral
  7. Pendidikan karakter merupakan upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan perbuatan berdasarkan norma agama, hukum, tata karma, budaya dan adat istiadat.

Menurut Hamdani Hamid dan Beni Ahmad Saebani (2013:33-35) ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai leluhur universal. Pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggung jawab; ketiga, kejujuran atau amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka menolong dan gotong royong atau kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian dan kesatuan.[18]

Adapun fokus pendidikan karakter yang selama ini mendominasi wacana menurut Jamaludin dalam Hamdani Hamid dan Beni Ahmad Saebani (2013:8) adalah sebagai berikut. Pertama Pendidikan karakter memusatkan diri pada pengajaran (teaching values). Kedua, pendidikan karakter yang memusatkan diri pada klarifikasi nilai (value clarification). Ketiga, pendidikan karakter yang mempergunakan pendekatan pertumbuhan moral Kohlberg (character development).[19]

Fokus pertama mengutamakan pengetahuan dan pengertian (intelectual), fokus kedua mengutamakan perilaku (conduct), tetapi memberikan prioritas pada pemahaman, serta proses pembentukan dan pemilihan nilai, sedangkan fokus ketiga mengutamakan pertumbuhan motivasi internal dalam membentuk nilai selaras dengan tahap-tahap perkembangan moral individu.

Pendidikan karakter yang berpusat pada pengajaran mengutamakan isi nilai-nilai tertentu yang harus dipelajari, serta sekumpulan kualitas keutamaan moral, seperti kejujuran, keberanian, kemurahan hati agar diketahui dan dipahami oleh siswa. Klasifikasi nilai ini lebih mengutamakan proses penalaran moral serta pemilihan nilai yang harus dimiliki oleh siswa. Fokus pada pertumbuhan karakter moral mengutamakan perilaku yang merefleksikan penerimaan nilai serta menekankan unsur motivasi, serta aspek-aspek kepribadian yang relatif stabil yang akan mengarahkan tindakan individu.

Menurut Hersh dalam Hamdani Hamid dan Beni Ahmad Saebani (2013:37) diantara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan dalam pendidikan karakter, yaitu pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klasifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial.[20] Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias dalam Hamdani Hamid dan Beni Ahmad Saebani (2013:37) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga yaitu: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku.[21]Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni perilaku, kognisi, dan afeksi.

Tujuan Pendidikan Karakter

Sebagaimana telah diuraikan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan akhlak yang menyentuh ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pendidikan karakter menjamah unsur mendalam dari pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Pendidikan karakter menyatukan tiga unsur tersebut. Dalam islam, ketiga unsur ini disebut dengan unsur akidah, unsur ibadah, dan unsur muamalah. Dalam bahasa tauhid disebut dengan iman, islam dan ihsan. Ketiga unsur ini harus menyatu dan terpadu dalam jiwa anak didik, sehingga akhlak yang tergabung berlandaskan keimanan, keislaman dan keikhlasan.

Amanah Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, tetapi juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernapas nilai luhur bangsa serta agama.

Dengan demikian, pendidikan karakter menurut Hamdani Hamid, Beni Ahmad Sabaeni (2013:39) bertujuan:

  1. Membentuk siswa berfikir rasional, dewasa, dan bertanggungjawab.
  2. Mengembangkan sikap mental yang terpuji.
  3. Membina kepekaan sosial anak didik.
  4. Membangun mental optimis dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan tantangan.
  5. Membentuk kecerdasan emosional.
  6. Membentuk anakdidik yang berwatak pengasih, penyayang, sabar, beriman, takwa, bertanggungjawab, amanah, jujur, adil, dan mandiri.[22]

Untuk mencapai tujuan pendidikan karakter diperlukan beberapa hal yang menyangkut kerjasama dengan pihak lain, yakni sebagai berikut:

  1. Bekerjasama dengan orang tua murid (co-parenting). Hal ini karena orang tua murid menjadi partner dalam membentuk karakter anak.
  2. Sekolah yang mengembangkan keteladanan bagi siswa.
  3. Masyarakat menjadikan lingkungan kehidupannya berwibawa dan bersih dari kejahatan dan kriminalitas lainnya.

Atas dasar itulah Character Education Quality Standards dalam Hamid dan Saebani (2013:39-40) merekomendasikan 11 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif, yaitu:

  1. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter
  2. Mengidentifikasikan karakter secara komperehensif agar mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku
  3. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter
  4. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian
  5. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukan perilaku yang baik
  6. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua siswa, membangun karakter dan membantu mereka untuk meraih kesuksesan
  7. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri para siswa
  8. Memungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter yangs setia pada nilai dasar yang sama
  9. Adanya pembangian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter
  10. Menghasilkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakater
  11. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa.[23]

Pendidikan Karakter Membentuk Insan Kamil

Pendidikan karakter bertujuan membentuk insan kamil. Kurikulum yang membangun karakter insan kamil dalam perspektif Islam memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut:

  1. Pembinaan anak didik untuk bertauhid.
  2. Kurikulum harus disesuaikan dengan fitrah manusia, sebagai mahluk yang memiliki keyakinan kepada Tuhan.
  3. Kurikulum yang disajikan merupakan hasil pengujian materi dengan landasan Al-Quran dan As-Sunnah.
  4. Mengarahkan minat dan bakat serta meningkatkan kemampuan akliah anak didik serta keterampilan yang akan diterapkan dalam kehidupan konkret.
  5. Pembinaan akhlak anak didik, sehingga pergaulannya tidak keluar dari tuntunan islam.
  6. Tidak ada kedarluwarsa kurikulum karena ciri khas kurikulum Islam senantiasa relevan dengan perkembangan zaman, bahkan menjadi filter kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penyerapannya dikehidupan masyarakat.
  7. Pendidikan karakter mengisyaratkan tiga macam dimensi dalam upaya mengembangkan kehidupan manusia yaitu:
  8. Dimensi kehidupan duniawi yang mendorong manusia sebagai hamba Allah untuk mengembangkan dirinya dalam ilmu pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai islam yang mendasari kehidupan.
  9. Dimensi kehidupan ukhrawi mendorong manusia untuk mengembangkan dirinya dalam pola hubungan yang serasi dan seimbang dengan Tuhan. Dimensi inilah yang melahirkan berbagai usaha agar seluruh aktivitas manusia senantiasa sesuai dengan niali-nilai Islam.
  10. Dimensi hubungan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi yang mendorong manusia untuk berusaha menjadikan dirinya sebagai hamba Allah yang utuh dan paripurna dalam bidang ilmu pegetahuan dan keterampilan, serta menjadi pendukung dan pelaksana ajaran Islam.

Ketiga dimensi itu kemudian dituangkan dan dijabarakan dalam program operasional pendidikan yang bermuara pada tujuan yang telah ditetapkan. Program itu menggambarkan implementasi seluruh komponen pendidikan yang integrative. Oleh karena itu, upaya memahamai pendidikan berkarakter tidak bisa dilakukan hanya dengan melihat dalam realitas penyelenggaraan pendidikan secara parsial, tetapi harus melihatnya dari sistem nilai yang menjadi  landasan paradigmanya. Tedi Priatna dalam Hamid dan Saebani (2013: 41-42).[24]

Penutup

Untuk mewujudkan insan kamil dibutuhkan kemauan politik (goodwill) dari semua pihak karena politik secara real bukan hanya berpijak dari definisinya yang normatif, tentang strategi pengembangan kehidupan bermasyarakat dan bernegara untuk meningkatkan kemaslakhatan rakyat. Politik merupakan strategi yang menyemangati doktrin normatif semua cita-cita sosial.

Untuk mewujudkan insan kamil, nilai-nilai yang dianut bersama menjadi komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai kehidupan masyarakat dan segala aspek yang mengikat kehidupan bathiniah sosial terungkap secaraa integral dalam proses pendidikan karakter, misalnya keyakinan agama dan kebertuhanan serta ketertarikan terhadap pesan-pesan dari ajaran-ajaran agama, dapat menjadi rujukan pendidikan karakter.

Dengan demikian, pendidikan karakter yang bertujauan membentuk insan kamil tolak ukur utamanya menurut Hamdani Hamid dan Beni Ahmad Saebani (2013:42) adalah nilai yang bersumber dari agama, kemudian diambil dari budaya lokal, dan dipadukan sebagai kurikulum berbasis karakter, artinya nilai-nilai yang terwujud pada akhlak manusia disepakati sebagai karakter. Jadi, berbasis karakter berarti  bersumber pada semua nilai yang diterima oleh masyarakat dan sudah merupakan tradisi dan kebudayaan.[25]

Catatan Akhir

[1] Asep Jihad, Muchlas M Rawi, dan Noer Komarudin, Pendidikan Karakter Teori dan Implementasi, (Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional, 2010), 2.

[2] Wibowo, Agus dan Gunawan,Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Di Sekolah, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 3-4.

[3] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

[4] Asep Jihad, Muchlas M Rawi, dan Noer Komarudin, Pendidikan Karakter Teori dan Implementasi, (Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional, 2010), 4.

[5] Asep Jihad, Muchlas M Rawi, dan Noer Komarudin, Pendidikan Karakter Teori dan Implementasi, (Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional, 2010), 9.

[6] Hamdani Hamid, Beni Ahmad Sabaeni, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2013), 3.

[7]  Hamdani Hamid, Beni Ahmad Sabaeni, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2013), 4.

[8] QS. Ali Imran: 79 dan 146.

[9] Hamdani Hamid, Beni Ahmad Sabaeni, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), 8.

[10] Hamdani Hamid, Beni Ahmad Sabaeni, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), 8.

[11]   Hamdani Hamid, Beni Ahmad Sabaeni, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), 30.

[12] Imam Syahid Arifudin, Peran Guru Terhadap Pendidikan Karakter Siswa Dikelas V SD N 1 Siluman, UPI, 2015.

[13] Uri Wahyuni, Peran Guru Dalam Membentuk Karakter Siswa Di SDN Jigudan Triharjo Pandak Bantul 2014/2015. Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Yogyakarta, 2015.

[14] Hamdani Hamid, Beni Ahmad Sabaeni, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), 31-32.

[15] Hamdani Hamid, Beni Ahmad Sabaeni, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), 32-33.

[16] Hamdani Hamid, Beni Ahmad Sabaeni, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), 8.

[17]   Hamdani Hamid, Beni Ahmad Sabaeni, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), 8.

[18] Hamdani Hamid, Beni Ahmad Sabaeni, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), 33-35.

[19] Hamdani Hamid, Beni Ahmad Sabaeni, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), 8.

[20] Hamdani Hamid, Beni Ahmad Sabaeni, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), 37.

[21] Hamdani Hamid, Beni Ahmad Sabaeni, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), 37.

[22] Hamdani Hamid, Beni Ahmad Sabaeni, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), 39.

[23] Hamdani Hamid, Beni Ahmad Sabaeni, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), 39-40.

[24] Hamdani Hamid, Beni Ahmad Sabaeni, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), 41-42.

[25] Hamdani Hamid, Beni Ahmad Sabaeni, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), 42.

Daftar Pustaka

Arifudin, Imam Syahid. 2015. Peran Guru Terhadap Pendidikan Karakter Siswa Dikelas V SD N 1 Siluman. UPI. (dikases 26 Juli 2018)

Hamid, Hamdani dan Saebani, Beni Ahmad.2013. Pendidikan Karakter Perspektif Islam.Bandung : CV. Pustaka Setia.

Jihad, Asep., Rawi, M. Muchlas., dan Komarudin, Noer. 2010. Pendidikan Karakter Teori dan Implementasi. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

Wahyuni, Uri. 2015. Peran Guru Dalam Membentuk Karakter Siswa Di SDN Jigudan Triharjo Pandak Bantul 2014/2015.Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Yogyakarta. (diakses 14 Juli 2018)

Wibowo, Agus dan gunawan. 2015. Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Di Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. I.